BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Dhila Nahrifa Hanafi

This is not about what I'm deaf, or what I show. But about what I feel

Jumat, 04 Juni 2010

SUPER SISTER (ifa nahrifa hanafi)


Ini sore ke 30 di bulan November 2009. Musim penghujan di Indonesia mulai menghiasi setiap sore. Dimana sore dengan langit jingga sudah mulai jarang terlihat. Dan saya mulai menaggalkan jaket hangat di badan saya.

17.44 sore. Saya merasakan semilir angin dingin yang sejuk di antara gorden merah di kamar saya. Mengingat kembali perayaan sweetseventeen saya yang begitu sepi. Menyayangkan semua “kemalangan” yang terjadi di hidup saya. Setelah kemarin saya sempat mengirim komentar di dinding facebook kakak saya “kapan pulang ?”. Yah, inilah salah satu penyelamat paling murah agar saya dan satu-satunya saudara perempuan saya dapat berkomunikasi dengan jarak yang cukup jauh.

***
Saya mengganti posisi saya. Yang semula berdiri di samping jeruji berbunga jendela saya, sekarang tengah melukis warna di kertas kosong. Sebenarnya saya mencoba menghibur diri saya. Tak lama handphone saya berbunyi. Di layarnya tertulis “Fam-Lara” nama untuk menyimbolkan kakak saya di telepon seluler saya.
“Halo. Kenapa sha ? ada masalah sama ayah ya ?” katanya dengan nada care di seberang telepon. Akhir-akhir ini memang tak jarang saya dan ayah saya adu mulut.
“hmm~ ga ada kok. Emang kapan pulangnya ?” saya bertanya dengan nada yang sangat mengharapka jawaban untuk dia mengatakan “akan pulang lebih cepat dari waktu yang ditentukan beasiswanya”.
“masih lama. Januari kayaknya. Itu pun cuma holiday aja, agustus 2010 baru pulang beneran. Tenang aja pasti dibawain oleh-oleh kok ! eh~ sorry sha, kakak ga bisa lama-lama bentar lagi dosennya mau masuk. Lagian pulsa mahal boo. Hahaha. Take care ya sha.” Katanya.
“oke. thank’s kak. Cepet pulang yah !” balasku. “oke ! bye.” . “bye”
Satu lagi yang saya sayangkan dia sekolah jauh ke Australia. Teleponnya selalu singkat. Dan saya kembali menyeka mata saya yang mulai sembab. Saya cuma kesepian saat ini.

***
Lara, kaka saya dan saya Keishia. Usia saya dan dia terpaut jauh, yaitu 16 tahun. Tiga tahun setelah saya dilahirkan, ibu kami kembali keperistirahatan terakhir. Mungkin ini tidak perlu dibahas, karena hal ini sudah menjadi rahasia publik. Sama dengan orang-orang yang lainya mereka mungkin akan menatap iba dan kasihan pada kami, terutama pada saya yang waktu itu masih seumur jagung.
Setelah ibu kami meninggal, ayah dan kak Lara bekerjasama membesarkan saya. Jangan salah kami tidak hanya berdua dalam keluarga ini. Masih ada dua kakak laki-laki kami. Raka dan Firman.
Di masa taman kanak-kanak saya, kak Lara lah yang membantu saya mengenakan baju, menyiapkan sarapan, dan menghias rambut saya dengan ikat rambut warna-warni. Itu dia Lara, yang menjadi pengganti ibu kami.
Saat liburan dan akhir pekan, kami selalu pergi bertiga. Saya, kak Lara, dan ayah saya.

Bisa dibilang saya dan kakak saya, Lara, tidak mungkin terpisahkan. Hampir setiap waktu kami lewati bersama.
Saat saya telah duduk di bangku SMP ayah saya menikah lagi setelah 7 tahun menduda. Hal itu tidak terlalu bermasalah bagi kami. Kami berpikir, agar ada yang menjaganya di hari tuanya kelak. Saat itu kak Lara bekerja di salah satu Televisi swasta di kota kami. Dia begitu aktif. Terkadang saya ikut berbagai event-event yang di selenggarakan di perusahaan itu. Setelah bekerja di situ kak Lara pindah ke suatu event organizer yang bernama Freehand, dimana EO ini menangani proyek perfilman Indonesia yang akan dipromosiakan di kota kami. Akibatnya saya sedikit terkena “anugrah”nya, karena kakak saya bekerja di EO ini, saya sering ketemu artis-artis terkenal.

Saya sangat membaggakan kakak saya. Dia mengetahui semuanya, dia sangat menjaga saya. Saya mengetahui hal ini begitu saya duduk di bangku SMA. Benar kata salah seorang teman se-TIM saya “lo ga bakalan ngerasa sayang sama seseorang sebelum lo kehilangan orang itu !”. dan saya merasakan itu setelah saya merasa jauh dari kakak saya.

Sekitar dua tahun yang lalu kakak saya menikah. Sebanarnya dia dijodohkan oleh ayah saya. Beberapa bulan sebelum pernikahannya saya secara tidak sengaja sempat mendengar percakapannya dengan seseorang di seberang telepon yang dia pegang. Terdengar agak samar, tapi bisa saya simpulkan dia sedang meminta maaf. Miris hati saya saat itu, di satu sisi saya melihat kakak saya begitu terpukul dengan keputusan ayah kami. Dan disisi lain saya melihat pilihan ayah yang hebat.
***
Kakak saya Lara, dia adalah cewek yang smart. IQnya bisa di bilang tinggi. Dia adalah seorang anak yang memabanggakan di mata ayah saya. Apalagi dengan beasiswa di luar negeri yang sekarang dia pegang di tangannya.

Terkadang saya merasa saya adalah bayangannya. Bagaimana tidak, setelah saya mulai beranjak dewasa yaitu di masa SMA, ayah saya tidak pernah melepaskan kalimat “liat kakak mu. Contolah dia !” di setiap apa saja yang dia bicarakan. Terkadang saya merasa ayah saya tidak melihat sisi lain dari saya. Saya akui, saya tidak se-smart kak Lara. Bahkan saya tidak yakin, saya akan mendapatkan salah satu kursi universitas di fakultas kedokteran nanti. Tapi kembali berterima kasih kepada kak Lara. Dengan kalimat “setidaknya lo bisa lebih dari gue. Itu aja cukup kok ! dan gue yakin lo pasti bisa.” Saya dengan ikhlas belajar sesuatu yang tidak saya sukai.

Saya masih di meja. Masih melukis warna saya. Masih dalam dunia khayal yang saya ciptakan sendiri. Saya kembali mengingat “kemalangan” di 2009 ini. Tahun dimana kakak saya tidak bisa ada di sini, menemani saya melewati hari-hari paling “malang” sepanjang hidup saya karena dia tengah berada di Australia bersama suami dan anaknya. Jujur, saya terbiasa dengannya di sini. Terbiasa dengan semangat yang dia berikan kepada saya. Dan SANGAT terbiasa dengan pertengkaran yang kadang terjadi diantara kami. Entah berapa liter air mata yang saya habiskan di tahun ini.

Awal tahun 2009. Saya menangis sendiri di kamar saya mengetahui ayah saya terlibat kasus. Ini akibat politik, dan fitnah. Kemudian malam itu sebelum tidur saya berjanji kepada diri saya sendiri tidak akan menjejakkan kaki saya di dunia politik. Kehidupan saya seketika berubah drastis. Saya sangat sedih saat itu.
Pertengahan tahun, kakak saya Raka meninggal dan itu satu hari sebelum idul fitri. Dia memang telah lama sakit. Saya menangis, kehilangan , merasa bersalah, merasa marah pada diri sendiri. Tahun ini saya merasakan idul fitri yang berbeda. Saya sholat ied di lapangan depan rumah, menangis melihat bendera putih berkibar menghias rumah saya.

“biginilah seseorang akan menjadi dewasa. Dia terlebih dahulu akan jatuh ke titik paling jatuh dan kemudian berusaha berdiri.” Itu kalimat pembangun yang selalu saya pegang.

Saya mengingat kembali ketika kak Lara mulai hamil. Saya menangis dihadapanya. Dan dia mulai berkata “walaupun nanti anak gue lahir, perhatian gue ke lo ga bakalan berkurang kok !”

Saya mulai belajar dewasa dengan semua kalimat pembangun yang di berikan kak Lara ke saya. Saya tahu dia hanya ingin yang terbaik bagi saya. Saya sempat mengirimkan e-mail sehari setelah kakak saya meninggal. “kita sekarang cuma bertiga, tolong saling jaga yah !”
Dan kak Lara membalas di dinding fb saya. “tahun depan kita buat sweet18teen yang keren !”
Saya sayang dia, sebesar sayang dia ke saya. Sebesar dia menjaga saya dan merawat saya. Sebanyak nasihat dan ketulusan dia mengeluarkan uangnya untuk saya.

Dia buka hanya seorang kakak yang saya panggil Kak Lara. Dia, adalah ibu , sahabat, tema, bahkan mungkin saingan bagi saya. Dia adalah kakak terhebat yang pernah ada .


*di dedikasikan pada : IFA NAHRIFA HANAFI

0 komentar: